MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PADA MASYARAKAT HUKUM ADAT
DOI:
https://doi.org/10.31764/civicus.v6i1.625Abstract
Pengadilan, oleh masyarakat tidak lagi dilihat sebagai lembaga penyelesaiain sengketa satu-satunya. Saat ini keberadaan lembaga pengadilan sudah terindikasi dengan berbagai kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang lebih dikenal dengan istilah KKN. Hal ini mengingat banyak produk keputusan pengadilan yang menyimpang dari asas-asas keadilan, cepat dan berbiaya murah. Dalam konteks inilah diperlukan model alternative penyelesaian sengketa pada masyararakat hukum adat yang lebih efisien, adil serta akomodatif guna menjaga kelesterian dan keberlanjutan kehidupan masyarakat hukum adat, yang lebih manusiawi dan berkeadilan. Tradisi penyelesaian sengketa pada masyarakat hukum adat didasarkan pada nilai filosofi kebersamaan (komunal), pengorbanan, nilai supernatural, dan keadilan. Dalam masyarakat hukum adat kepentingan bersama merupakan filosofi hidup yang meresap pada setiap anggota masyarakat adat. Pelaksanaan hasil mediasi yang sudah disakralkan dihadapan tokoh adat, apalagi sudah dilakukan dengan suatu upacara adat (ritual), maka kesepakatan tersebut harus dilaksanakan dengan segera, bila salah satu pihak mengingkari atau tidak bersedia melaksanakan hasil mediasi, maka pihak tersebut akan mendapatkan sanksi adat dari masyarakat hukum adat. Sanksi adat diberikan atas pertimbangan, bahwa pengingkaran kesepakatan damai merupakan bentuk pengingkaran terhadap nilai dan rasa keadilan masyarakat hukum adat. Penjatuhan sanksi adat dijatuhkan oleh tokoh adat yang bertindak sebagai penjaga nilai keadilan dan warisan leluhur dalam masyarakat hukum adat.
The court, by the community is no longer seen as the only dispute resolution agency. At present the existence of a court institution has been indicated by various cases of corruption, collusion and nepotism, which are better known as KKN. This is because there are many products of court decisions that deviate from the principles of justice, fast and low cost. In this context an alternative model of dispute resolution is needed in the customary law community that is more efficient, fair and accommodative in order to maintain the sustainability and sustainability of the life of indigenous peoples, who are more humane and just. The tradition of dispute resolution in indigenous peoples is based on the values of communal philosophy, sacrifice, supernatural values, and justice. In indigenous peoples the common interest is a life philosophy that permeates every member of the indigenous community. The implementation of the mediation results that have been sacred before traditional leaders, moreover has been done with a traditional ceremony (ritual), then the agreement must be carried out immediately, if one party denies or is unwilling to carry out the mediation results, the party will get customary sanctions from the community customary law. Customary sanctions are given for consideration, that the denial of a peace agreement is a form of denial of the values and sense of justice of indigenous peoples. The imposition of customary sanctions is imposed by traditional leaders who act as guardians of the value of justice and ancestral heritage in indigenous and tribal peoples.
Â
References
M. Fajar and Y. Achmad, “Dualisme penelitian hukum normatif dan empiris,†Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
M. Sulastriyono and S. D. F. Aristya, “Penerapan Norma Dan Asas-Asas Hukum Adat Dalam Praktik Peradilan Perdata,†Mimb. Huk., vol. 24, no. 1, pp. 25–40, 2012.
C. M. Gilmour, Lorna, Penny Hand, Collins English Dictionary and Thesaurus, Third. Great Britain: Harper Collins Publishers, 2007.
K. B. B. Indonesia, “Jakarta: Depdikbud RI,†1988.
S. Margono, ADR, alternative dispute resolution, & arbitrase: proses pelembagaan dan aspek hukum. Ghalia Indonesia, 2000.
C. W. Moore, The mediation process: Practical strategies for resolving conflict. John Wiley & Sons, 2014.
Soedarsono, Hukum Adat Dan Modernisasi Hukum. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1998.
S. Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Gunung Agung, 1982.
R. Safa’at, “Advokasi Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Latar belakang, Konsep dan Implementasinya),†Surya Pena Gemilang, Malang, 2011.
H. Hilman, “Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia,†Mandar Maju, Bandung, 1992.
B. Muhammad, Pokok-pokok hukum adat. Pradnya Paramita, 1995.